Sebuah Malapetaka dari DLC Games

Downloadable content (DLC) adalah sebuah konten tambahan yang dibuat untuk sebuah video game yang sudah dirilis terlebih dahulu di pasaran, DLC biasanya didistribusikan melalui Internet oleh Developer Games tersebut. DLC biasanya berisi konten kosmetik, seperti skin, hingga konten baru seperti karakter, level, mode, dan ekspansi story yang merupakan kelanjutan dari game dasar yang di awal di release. DLC pertama kali kita kenal pada Atari 2600 melalui jaringan GameLine service, yang memungkinkan penggunanya untuk men download game dari line telepon. Sebuah konsep layanan yang sama, Sega Channel memungkinkan pengguna Sega Genesis untuk men download game melalui jaringan kabel telepon.

Pertama kali saya di perkenalkan tentang sebuah DLC adalah saat memainkan game PS3 Castlevania: Lords of Shadow pada tahun 2012, saat itu saya tidak terlalu mengambil pusing tentang konten tambahan pada game tersebut, hingga hal ini berlanjut terus ke game-game seperti Uncharted 3: Drake's DeceptionMuramasa RebirthBioShock InfiniteDragon Age: Inquisition dst. Pada saat itu saya melihat kalau game-game dengan title besar, yang selalu menggunakan konten DLC. Hingga akhirnya konten DLC ini menjadi hal yang wajar kita temui se sekali menghiasi game-gema yang kita mainkan saat ini.

Ide dari DLC sebenarnya cukup bagus, namun makin ke kini DLC ini mulai meninggalkan tujuan utamanya sebagai konten tambahan. Seorang teman di Facebook membagikan sebuah meme tentang DLC ini, sebuah gambar yang cukup mewakili konsep dari DLC yang terjadi sekarang ini. Saat kita memainkan base game saja maka yang kita rasakan cuma makan Bubur + Telur, rasanya biasa saja. Saat DLC 1-5 keluar maka yang akan kita rasakan adalah rasa per individu, DLC 1 sambal, rasanya pedas, DLC 2 kecap rasanya manis, DLC 4 sayur dan terakhir DLC 5 ayam suwir, rasanya gurih. Sebuah base game tidak akan terasa sama lagi saat munculnya embel-embel DLC, Base Game + semua DLC harus di santap secara bersamaan untuk menimbulkan sebuah sensasi yang dinamakan "kaya rasa", campuran bubur, telur, sambal, kecap, sayur dan ayam harus di racik ke dalam satu piring sehingga menghasilkan sebuah masakan yang utuh dan sangat nikmat untuk di makan.

Hal ini benar-benar saya rasakan saat memainkan sebuah game, game itu adalah Final Fantasy XV (2016), saya memainkan game ini di day one, hanya terdiri dari konten base game saja, dan hasilnya tidak enak, rasanya biasa saja, malah cendrung kalau game ini game jelek. Saat itu mulai timbullah benih-benih saya membenci konsep DLC. Waktu mulai berlalu, DLC dari game Final Fantasy XV ini mulai release satu per satu (Episode Gladiolus, Prompto, Comrades dan Ignis), saya tetap bersikukuh untuk tidak akan membeli satuan DLC ini, karena harganya yang mahal dan terlanjur kecewa di awal. Hingga akhirnya pada May 2020 dengan berat hati saya memutuskan untuk membeli paket komplit dari Final Fantasy XV Royal Edition + DLC Episode Ardyn karena dapat harga diskon di bawah 100rb.

Saat itulah saya memulai memainkan game ini dari awal lagi, dengan mengikuti urutan story dari DLC yang ada,

Brotherhood (Anime) -> Main Game Chapter 1 -> Kingsglaive (Movie) -> Main Game Chapter 7 -> Episode Gladio -> Main Game Chapter 9 -> Episode Ignis -> Main Game Chapter 13 -> Episode Ardyn  -> Main Game Chapter 13 v2 -> Episode Prompto -> Finish the game -> Comrades Multiplayer.

Tidak terasa lebih dari 118 jam berlalu, saya mulai memainkan multiplayer DLC Comrades, dan menghabiskan sekitar 50 jam, hingga akhirnya menamatkan kembali game ini, dan benar-benar game ini terasa  bagus (dengan segala macam kekurangnya), karakter developmentnya bagus, gafisnya bagus, storynya dalam, battlenya salah satu yang terbaik dll. Game Final Fantasy XV ini serasa berubah, terasa benar-benar matang, hampir sempurna, kaya akan rasa, membuat saya merasa sedih saat mau meninggalkan game ini. Seperti konsep DLC yang di ibaratkan sebuah makanan di awal artikel ini, Game Final Fantasy XV ini baru terasa bagus saat kontennya sudah lengkap, saat di nikmati secara bersamaan dengan base gamenya. Saya malah menganggap Final Fantasy XV ini jauh lebih bagus dari pada Final Fantasy VII Remake yang belum selesai ceritanya.

Harusnya konsep DLC adalah seperti meme di atas ini, Saat kita membeli burger, yang kita dapat ya makanan burger dengan rasa burger, saat kita menginginkan konten DLC, ya dalam bentuk minuman soda, friend fries atau ice cream yang ketiga makanan ini bisa di konsumsi secara terpisah dan memiliki rasa sendiri-sendiri yang saling melengkapi. DLC dengan rasa seperti itu saya rasakan pada game DLC dari The Witcher 3 - Hearts of Stone dan Blood and Wine, benar-benar sebuah DLC story yang di garap dengan sangat niat dan memberikan warna baru terhadap game The Witcher 3. Terakhir saya memainkan Shadow of Tomb Raider dan developernya memecah DLC arena tomb menjadi beberapa bagian, dan itu saya rasa akan mengurai perasaan saat memainkan game ini secara keseluruhan.   

Cara kita menikmati sebuah video game tentunya sudah berubah, DLC yang dibalut dengan sistem gacha merupakah suatu hal terburuk yang pernah ada dalam dunia video games. Semoga kedepannya di era PS5 lebih banyak lagi muncul developer-developer yang benar-benar sadar dan menyajikan DLC dengan konten yang seharusnya di sajikan.

No comments

'
Theme images by suprun. Powered by Blogger.